Ada dua kelompok ulama. Ada as sodiqun mislu rusul ada as solihun.
Maksud mitslu Rusul itu dalam pengertian as Sodikun adalah ulama yang
oleh Allah dikuatkan dengan karamat yang dzahir sebagaimana para Rasul
yang dikuatkan oleh Allah dengan mu’jizat. Seperti ada orang yang mau
beriman berkata; tandanya anda rusul apa, saya mau buktinya, saya minta
mu’jizatnya. Nah rasul di sini wajib menunjukkan mu’jizatnya.
Demikian pula auliya’-auliya’ itu. Seperti Syekh Abdul Qodir Al Jaelani. Beliau ditanya apa buktinya kalau Nabi Muhammad bisa menghidupkan orang mati. Syekh Abdul Qodir al Jaelani menjawab, ‘Terlalu tinggi kalau Nabi saya. Bagaimana dengan Nabimu?’ Orang yang bertanya berkata, “Nabiku bisa menghidupkan orang yang telah mati.” “Caranya bagaimana?,” lanjut Syekh Abdul Qadir. “Nabiku mengatakan, ‘Qum bi idzinillah,’ hiduplah dengan seijin Allah,” jawab orang itu. “Oke carikan saya orang mati,” pinta Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qodir al Jaelani langsung meng¬hidupkan orang mati itu dengan berkata; ‘Qum Bi Idzni,’ hidup¬lah dengan seijinku. Jangankan Nabi-ku, aku saja bisa. Nabi terlalu tinggi, kata Syekh Abdul Qodir al Jaelani. ‘Qum bi idzni”, bukan bi idznillah lagi karena apa, untuk melemahkan orang yang meremeh¬kan Nabi, atau yang tidak mempercayai Nabi Muhammad SAW. Syekh Abdul Qadir Al Jailani tidak memakai kata-kata ‘Bi Idznillah’, tapi ‘Qum Bi Idzni’ hakikatnya Syekh Abdul Qodir al Jaelani tetap memohon kepada Allah SWT. Seperti juga karomah Habib Umar bin Thoha Indaramayu waktu bertandang ke Sultan Alaudin, Palembang. Dan seperti Al Habib Alwi bin Hasyim bisa menghidupkan orang mati, tentu saja atas seijin dan kuasa Allah SWT.
Para ulama dan para auliya’ menolong kepercayaan kita atas kebenaran yang dibawa Al Quran; seperti bagaimana ashabul kafi. Ashabul kahfi bukan rasul, mereka adalah wali. mereka tidur sampai 360 tahun. Bayangkan saja. Terus karamat Juraij, karamat Luqmanul Hakim dan banyak lagi yang dicaritakan al Al Quran. Seperti juga Nabi Allah Sulaiman. Dikisahkan dalam al Qur’an beliau bisa berbicara dengan burung.
Wali Allah di Indonesia pun ada yang bisa berbicara bahasa hewan, seperti Mbah Adam dari Krapyak, Pekalongan. Auliya-auliya kita itu dulu begitu. Banyak lagi cerita auliya-auliya ulama-ulama di Indonesia. Ulama Jawa yang karamatnya luar biasa, seperti Mbah Sholeh Semarang, Mbah Kholil Bangkalan, banyak kalau kita ceritakan. Akhirnya dengan adanya yang demikian, kita percanya mantap dengan apa yang disebutkan oleh Al Quran;
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS: Yunus:62) Dari perilaku, sikap, dan karamat-karamat mereka kita tahu juga bagaimana gambaran dari;
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS: Fathir: 28). Kita sudah tidak heran lagi kanapa yang disebut dalam ayat itu adalah ulama. Nah itulah hebatnya auliya-auliya terdahulu, luar biasa, mem¬punyai karamat yang top-top. Banyak lagi kalau diceritakan. Dan kita akan menemukan auliya-auliya yang ada di Indonesia ini luar biasa-luar biasa karamat¬nya. Nah tujuan dari semua ini adalah menolong kita, yang awalnya kepercayaan terhadap sahabat sangat tipis, suudzon, berburuk sangka dan sebagainya, ditolong oleh para ulama dan para wali-wali Allah SWT.
Kembali kepada para sahabat Nabi. Sahabat Nabi adalah orang atau generasi pertama yang menerima tongkat estafet dan mewarisi apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ada banyak hal yang membuat saya kagum ketika saya ber¬bicara tentang keutamaan para sahabat Nabi itu.
Di antaranya saja; kehebatan dan kuatnya keimanan mereka. Saya tidak akan menyebut¬kan yang lain-lain, kita tidak sampai. Dalam istilah jawa itu; kali sak dodo. Sekarang kita lihat bagaimana banyaknya tafsir-tafsir yang menjelaskan maksud Al Qur’an ada ribuan bahkan mungkin jutaan. Satu judul tafsir saja ada yang 50 jilid, 60 jilid. Seperti At Thabari, Fakhru Razi, atau juga yang baru-baru seperti tafsir Syekh Thanthawi. Banyak sekali. Belum lagi yang mem¬bahas fiqih, tauhid dan lain-lain.
Semenatara pada jaman sahabat dulu tidak ada kitab yang menumpuk seperti saat ini. Jangankan kitab, menulis pun tidak, karena banyak di antara mereka yang umiy’; tidak bisa baca-tulis. Begitu ada wahyu disampaikan oleh Rasulullah SAW pada sahabat, dihapal¬kan, dan mereka langsung hapal, langsung percaya, langsung yakin.
Ilmu mereka adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa wahyu atau hadits yang disampaikan oleh Rasullah. Tapi dengan kesederhanaan itu dapat menghasilkan satu keyakinan yang luar biasa yang terpatri dalam hati mereka. Keyakinan yang hebat itu mewarnai dalam ijtihadnya dalam mujahadahnya dan sebagainya. Banyak hadits yang menceritrakan bagaimana kekuatan dan kehebatan keimanan mereka yang luar biasa, bagaimana kecintaan mereka kapada Rasulullah, juga bagaimana kecintaan mereka kepada satu sama lain diantara para sahabat, kecintaan sahabat kepada ahlu bait-nya Rasulullah SAW.
Contohnya sahabat Bilal, bagaimana kecintaan beliau kepada Rasulullah. Pada waktu Rasulullah meninggal, langsung sahabat Bilal mengundurkan diri sebagai muadzin, sebab tidak sampai hati beliau mendengungkan kalimat Allahu akbar. Biasanya dilihat oleh Rasulullah dan sahabat lainnya, sementara pada saat itu Rasul telah mangkat. Sehingga bagaimana mungkin beliau bisa mengeluar¬kan suara sementara Rasulullah SAW yang selalu mendengar adzannya sudah tidak ada. Ketika mau adzan suaranya tidak mau keluar suaranya hilang. Karena apa? Sayidina Bilal Shock, karena mahabbah, kecintaan yang luar biasa kepada Rasulullah SAW. Sahabat Bilal bungkam, diam di Madinah sampai Rasulullah dimakamkan. Setelah Rasulullah SAW dimakamkan sahabat Bilal tidak betah. Lalu sahabat Bilal pindah ke Syam (Syiria).
Di Syam tadinya sahabat Bilal membayangkan akan mendapatkan sedikit ketenangan, tapi malah sebaliknya yang terjadi, terbayang wajahnya Rasulullah di mukanya terus, ahirnya ditemui oleh Rasulullah dalam mimpi. Ditanya oleh Rasulullah, ‘Bilal mengapa engkau tinggal ditempat yang jauh betul dari Aku, katanya engkau ingin dekat dengan Aku, mengapa kamu pundah ke Syam?’ Langsung hari itu juga Sahabat Bilal pulang ke Madinah Al Munawroh, begitu sahabat Bilal ziarah ke makam Rasulullah, Sayidina Abu Bakar mendengar Sayidina Umar mendengar, mereka langsung menemui sahabat Bilal. Dan ziarah bersama. Sayidina Abu Bakar menangis. ‘Hai Bilal kapan datang?’ Tanya Khalifah Abu Bakar.
Mereka menangis rangkul-rangkulan. Kemudain Sahabat Abu Bakar meminta sayidina Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan di Madinah; ‘tolong dengung¬kan kembali adzanmu sebagaimana zaman Rasulullah.’ ‘Mulutku tidak bisa di buka,’ jawab Sayidina Bilal. Sayidina Umar yang juga meminta ke¬sediaan sahabat Bilal mendapat jawaban yang sama.
Akhirnya di sana ada 2 anak. Yang satu umurnya 9 tahun, yang satu umurnya 8 tahun, siapa mereka? Mereka adalah Imam Hasan dan Husain; dua orang cucu Nabi. Imam hasan dan Husain datang kepada Sahabat Bilal, begitu sahabat Bilal tahu, langsung menjemput kedatangan Imam Hasan dan Imam Husain. langsung dirangkul, begitu mencium kedua cucu Nabi, tambah sedih lagi sahabat Bilal, beliau kembali menangis. Karena apa? Keringat kedua anak ini tadi seperti keringat datuknya; baginda Nabi SAW. Luar biasa.
Akhirnya dua orang ini berbicara. ‘Ya Bilal’ kata Sayidina Hasan yang saat itu ditemani adiknya; Imam Husain; ‘Tolong kumandangkan kembali adzan, sebagaimana engkau lakukan pada zaman datukku baginda Rasulullah SAW’. Dari situlah sahabat Bilal luluh. ‘Kalau yang memerintah adalah dua anak ini, mana mungkin aku bisa menolak. Karena ini adalah sempalan dari darah daging Rasulullah SAW. Kalau saya menolak, nanti di akherat bagaimana bertemu dengan baginda Rasul SAW,’ pikir sahabat Bilal.
Kemudian sahabat Bilal naik ke menara menunaikan adzan, ketika sahabat Bilal adzan seluruh penduduk Madinah, tidak anak kecilnya, tidak orang dewasanya, semua keluar dari rumahnya masing-masing sambil mengatakan Rasulullah hidup kembali-Rasulullah hidup kembali. Karena apa, mendengar suaranya Bilal. Sebab ketika sahabat Bilal adzan selalu selalu pas dengan baginda Rasulullah SAW. Mereka semua keluar berduyun duyun mendengar suaranya Bilal ra.
Demikian pula auliya’-auliya’ itu. Seperti Syekh Abdul Qodir Al Jaelani. Beliau ditanya apa buktinya kalau Nabi Muhammad bisa menghidupkan orang mati. Syekh Abdul Qodir al Jaelani menjawab, ‘Terlalu tinggi kalau Nabi saya. Bagaimana dengan Nabimu?’ Orang yang bertanya berkata, “Nabiku bisa menghidupkan orang yang telah mati.” “Caranya bagaimana?,” lanjut Syekh Abdul Qadir. “Nabiku mengatakan, ‘Qum bi idzinillah,’ hiduplah dengan seijin Allah,” jawab orang itu. “Oke carikan saya orang mati,” pinta Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qodir al Jaelani langsung meng¬hidupkan orang mati itu dengan berkata; ‘Qum Bi Idzni,’ hidup¬lah dengan seijinku. Jangankan Nabi-ku, aku saja bisa. Nabi terlalu tinggi, kata Syekh Abdul Qodir al Jaelani. ‘Qum bi idzni”, bukan bi idznillah lagi karena apa, untuk melemahkan orang yang meremeh¬kan Nabi, atau yang tidak mempercayai Nabi Muhammad SAW. Syekh Abdul Qadir Al Jailani tidak memakai kata-kata ‘Bi Idznillah’, tapi ‘Qum Bi Idzni’ hakikatnya Syekh Abdul Qodir al Jaelani tetap memohon kepada Allah SWT. Seperti juga karomah Habib Umar bin Thoha Indaramayu waktu bertandang ke Sultan Alaudin, Palembang. Dan seperti Al Habib Alwi bin Hasyim bisa menghidupkan orang mati, tentu saja atas seijin dan kuasa Allah SWT.
Para ulama dan para auliya’ menolong kepercayaan kita atas kebenaran yang dibawa Al Quran; seperti bagaimana ashabul kafi. Ashabul kahfi bukan rasul, mereka adalah wali. mereka tidur sampai 360 tahun. Bayangkan saja. Terus karamat Juraij, karamat Luqmanul Hakim dan banyak lagi yang dicaritakan al Al Quran. Seperti juga Nabi Allah Sulaiman. Dikisahkan dalam al Qur’an beliau bisa berbicara dengan burung.
Wali Allah di Indonesia pun ada yang bisa berbicara bahasa hewan, seperti Mbah Adam dari Krapyak, Pekalongan. Auliya-auliya kita itu dulu begitu. Banyak lagi cerita auliya-auliya ulama-ulama di Indonesia. Ulama Jawa yang karamatnya luar biasa, seperti Mbah Sholeh Semarang, Mbah Kholil Bangkalan, banyak kalau kita ceritakan. Akhirnya dengan adanya yang demikian, kita percanya mantap dengan apa yang disebutkan oleh Al Quran;
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS: Yunus:62) Dari perilaku, sikap, dan karamat-karamat mereka kita tahu juga bagaimana gambaran dari;
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS: Fathir: 28). Kita sudah tidak heran lagi kanapa yang disebut dalam ayat itu adalah ulama. Nah itulah hebatnya auliya-auliya terdahulu, luar biasa, mem¬punyai karamat yang top-top. Banyak lagi kalau diceritakan. Dan kita akan menemukan auliya-auliya yang ada di Indonesia ini luar biasa-luar biasa karamat¬nya. Nah tujuan dari semua ini adalah menolong kita, yang awalnya kepercayaan terhadap sahabat sangat tipis, suudzon, berburuk sangka dan sebagainya, ditolong oleh para ulama dan para wali-wali Allah SWT.
Kembali kepada para sahabat Nabi. Sahabat Nabi adalah orang atau generasi pertama yang menerima tongkat estafet dan mewarisi apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ada banyak hal yang membuat saya kagum ketika saya ber¬bicara tentang keutamaan para sahabat Nabi itu.
Di antaranya saja; kehebatan dan kuatnya keimanan mereka. Saya tidak akan menyebut¬kan yang lain-lain, kita tidak sampai. Dalam istilah jawa itu; kali sak dodo. Sekarang kita lihat bagaimana banyaknya tafsir-tafsir yang menjelaskan maksud Al Qur’an ada ribuan bahkan mungkin jutaan. Satu judul tafsir saja ada yang 50 jilid, 60 jilid. Seperti At Thabari, Fakhru Razi, atau juga yang baru-baru seperti tafsir Syekh Thanthawi. Banyak sekali. Belum lagi yang mem¬bahas fiqih, tauhid dan lain-lain.
Semenatara pada jaman sahabat dulu tidak ada kitab yang menumpuk seperti saat ini. Jangankan kitab, menulis pun tidak, karena banyak di antara mereka yang umiy’; tidak bisa baca-tulis. Begitu ada wahyu disampaikan oleh Rasulullah SAW pada sahabat, dihapal¬kan, dan mereka langsung hapal, langsung percaya, langsung yakin.
Ilmu mereka adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa wahyu atau hadits yang disampaikan oleh Rasullah. Tapi dengan kesederhanaan itu dapat menghasilkan satu keyakinan yang luar biasa yang terpatri dalam hati mereka. Keyakinan yang hebat itu mewarnai dalam ijtihadnya dalam mujahadahnya dan sebagainya. Banyak hadits yang menceritrakan bagaimana kekuatan dan kehebatan keimanan mereka yang luar biasa, bagaimana kecintaan mereka kapada Rasulullah, juga bagaimana kecintaan mereka kepada satu sama lain diantara para sahabat, kecintaan sahabat kepada ahlu bait-nya Rasulullah SAW.
Contohnya sahabat Bilal, bagaimana kecintaan beliau kepada Rasulullah. Pada waktu Rasulullah meninggal, langsung sahabat Bilal mengundurkan diri sebagai muadzin, sebab tidak sampai hati beliau mendengungkan kalimat Allahu akbar. Biasanya dilihat oleh Rasulullah dan sahabat lainnya, sementara pada saat itu Rasul telah mangkat. Sehingga bagaimana mungkin beliau bisa mengeluar¬kan suara sementara Rasulullah SAW yang selalu mendengar adzannya sudah tidak ada. Ketika mau adzan suaranya tidak mau keluar suaranya hilang. Karena apa? Sayidina Bilal Shock, karena mahabbah, kecintaan yang luar biasa kepada Rasulullah SAW. Sahabat Bilal bungkam, diam di Madinah sampai Rasulullah dimakamkan. Setelah Rasulullah SAW dimakamkan sahabat Bilal tidak betah. Lalu sahabat Bilal pindah ke Syam (Syiria).
Di Syam tadinya sahabat Bilal membayangkan akan mendapatkan sedikit ketenangan, tapi malah sebaliknya yang terjadi, terbayang wajahnya Rasulullah di mukanya terus, ahirnya ditemui oleh Rasulullah dalam mimpi. Ditanya oleh Rasulullah, ‘Bilal mengapa engkau tinggal ditempat yang jauh betul dari Aku, katanya engkau ingin dekat dengan Aku, mengapa kamu pundah ke Syam?’ Langsung hari itu juga Sahabat Bilal pulang ke Madinah Al Munawroh, begitu sahabat Bilal ziarah ke makam Rasulullah, Sayidina Abu Bakar mendengar Sayidina Umar mendengar, mereka langsung menemui sahabat Bilal. Dan ziarah bersama. Sayidina Abu Bakar menangis. ‘Hai Bilal kapan datang?’ Tanya Khalifah Abu Bakar.
Mereka menangis rangkul-rangkulan. Kemudain Sahabat Abu Bakar meminta sayidina Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan di Madinah; ‘tolong dengung¬kan kembali adzanmu sebagaimana zaman Rasulullah.’ ‘Mulutku tidak bisa di buka,’ jawab Sayidina Bilal. Sayidina Umar yang juga meminta ke¬sediaan sahabat Bilal mendapat jawaban yang sama.
Akhirnya di sana ada 2 anak. Yang satu umurnya 9 tahun, yang satu umurnya 8 tahun, siapa mereka? Mereka adalah Imam Hasan dan Husain; dua orang cucu Nabi. Imam hasan dan Husain datang kepada Sahabat Bilal, begitu sahabat Bilal tahu, langsung menjemput kedatangan Imam Hasan dan Imam Husain. langsung dirangkul, begitu mencium kedua cucu Nabi, tambah sedih lagi sahabat Bilal, beliau kembali menangis. Karena apa? Keringat kedua anak ini tadi seperti keringat datuknya; baginda Nabi SAW. Luar biasa.
Akhirnya dua orang ini berbicara. ‘Ya Bilal’ kata Sayidina Hasan yang saat itu ditemani adiknya; Imam Husain; ‘Tolong kumandangkan kembali adzan, sebagaimana engkau lakukan pada zaman datukku baginda Rasulullah SAW’. Dari situlah sahabat Bilal luluh. ‘Kalau yang memerintah adalah dua anak ini, mana mungkin aku bisa menolak. Karena ini adalah sempalan dari darah daging Rasulullah SAW. Kalau saya menolak, nanti di akherat bagaimana bertemu dengan baginda Rasul SAW,’ pikir sahabat Bilal.
Kemudian sahabat Bilal naik ke menara menunaikan adzan, ketika sahabat Bilal adzan seluruh penduduk Madinah, tidak anak kecilnya, tidak orang dewasanya, semua keluar dari rumahnya masing-masing sambil mengatakan Rasulullah hidup kembali-Rasulullah hidup kembali. Karena apa, mendengar suaranya Bilal. Sebab ketika sahabat Bilal adzan selalu selalu pas dengan baginda Rasulullah SAW. Mereka semua keluar berduyun duyun mendengar suaranya Bilal ra.
Oleh : Habib Lutfi Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar