Kamis, 03 November 2011

Manakib Al Habib Salim Bin Jindan (otista)


Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (BinJindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.

Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi.
 
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepanp, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.

Perjanjian Renvile Habib Salim turut serta didalamnya
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang berguru kepada beliau, Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.



Ratapan 10 Muharram – Fatwa Habib Salim
Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait.

Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:

• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.

• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.

• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.

• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”

Janganlah tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.

Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista).

Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.

Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.”

Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”

Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Al Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan.

Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa  merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim

Rabu, 02 November 2011

Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (kwitang)

Memasuki kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, jangan coba-coba menaiki kendaraan tiap Ahad pagi. Selesai shalat Subuh, di daerah ini, terutama di Jalan Kramat II dan sekitarnya, ribuan manusia berbondong-bondong mendatangi Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi yang terletak di jalan tersebut. Para pendatang yang ingin mendengar ceramah dari para ulama, harus bersusah payah dan berdesak-desakan untuk mendapat tempat di majelis tersebut. Sebagian besar dari mereka tak mendapatkan tempat di dekat mimbar (panggung). Mereka datang dari berbagai kota di Jabodetabek dan kota lainnya.

Tak hanya mereka yang ingin mendengarkan ceramah, para pedagang juga turut memadati area Kwitang. Tak heran, jalan yang tak terlalu lebar itu semakin sempit dan sesak. Tak kurang dari 100 pedagang yang menjual aneka kebutuhan pengunjung. Sepanjang jalan dari ujung Kramat Raya hingga lokasi majelis taklim ini yang berjarak sekitar 700 meter itu penuh sesak dengan lautan manusia. Begitu juga dengan daerah seputar Ciliwung yang dipenuhi dengan tenda-tenda pedagang, sejak Sabtu sore.

Membludaknya pengunjung di majelis taklim Kwitang ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pendirinya, yakni Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi, seorang ulama kelahiran Betawi.
Sebelum majelis taklim di buka tiap Ahad pukul 08.00 pagi, para pengunjung terlebih dahulu berziarah ke makam sang habib di Majelis Al-Riyadh, Kwitang. Majelis taklim ini dibangun pada 1910 M (masehi) dari sebuah mushala kecil. Di kompleks makam itu, ratusan peziarah membaca surah Yasin dan berdoa untuk almarhum.

 Habib Ali Alhabsyi, Ulama, Pejuang, dan Pendidik dari Betawi
Habib Ali Alhabsyi dilahirkan pada 1286 Hijriyah (1869 Masehi) di Kwitang. Ayahnya, Habib Abdurahman bin Abdullah Alhabsyi, adalah seorang ulama yang lahir di Petak Sembilan, Semarang (Jateng), yang kemudian tinggal di Jakarta (Betawi). Di Betawi, Habib Abdurrahman menikah dengan seorang puteri ulama kelahiran Meester Cornelis (Jatinegara) bernama Nyi Salmah. Pada tahun 1296 Hijriyah (1879 M), Habib Abdurrahman meninggal dunia ketika Habib Ali berusia 10 tahun.

Jenazahnya dimakamkan di dekat kediaman Raden Saleh yang bersebelahan dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) sekarang ini. Pelukis tenar yang punya nama di dunia internasional ini merupakan kemenakan ayah Habib Ali, sama-sama kelahiran Semarang.

Sebelum meninggal, Habib Abdurahman telah berwasiat kepada istrinya, Nyi Salmah, agar putranya (Habib Ali–Red) disekolahkan ke Hadramaut dan Makkah. Kala itu, untuk mendapatkan pendidikan agama, orang Betawi banyak menyekolahkan putra-putrinya ke Timur Tengah. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai kini.

Sesuai dengan pesan almarhum suaminya, Nyi Salmah pun menyekolahkan putranya ke Hadramaut. Selama lima tahun (1881-1886), Habib Ali berguru pada sejumlah ulama. Sebagai remaja yang haus akan ilmu, Habib Ali juga menempuh pendidikan di kota suci Makkah. Sekembali ke Indonesia, semangatnya untuk belajar terus menyala-nyala. Dia berguru dengan sejumlah ulama di Jakarta, termasuk Habib Usman Bin Yahya, mufti Betawi.

Ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap kaum Muslim di Tripoli, Libya, oleh Italia yang menjajah negeri itu, berita tidak berkemanusiaan ini pun sampai ke Jakarta. Banyak protes dari umat Islam, terutama melalui masjid-masjid. Dia pun diminta oleh gurunya, Habib Usman, di Masjid Pekojan, Jakarta Barat, berpidato untuk mengobarkan semangat kaum Muslim sebagai solidaritas terhadap saudaranya di Libya. Sejumlah tokoh Syarikat Islam (SI), seperti HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, berperan besar dalam menggerakkan solidaritas umat Islam Indonesia. Mereka mencetuskan agar produk-produk Italia yang ada di Indonesia untuk diboikot. Di samping memboikot mobil Fiat, mereka juga membakar peci stambul buatan Italia yang banyak digunakan ketika itu.

Perjuangan kaum Muslim di Libya melawan penjajahan Italia ini dipimpin oleh Omar Mukhtar. Peristiwa ini telah difilmkan oleh Hollywood dengan judul Lion of the Desert (Singa Padang Pasir) yang diperankan oleh Anthony Quinn sebagai Omar Mukhtar.

Majelis taklim Kwitang didirikannya pada 1911. Dengan cepat, majelisnya didatangi banyak pengunjung, termasuk dari daerah-daerah pinggiran, seperti Ciputat, Condet, hingga Depok. Karena kendaraan bus kota belum ada kala itu, murid-muridnya berdatangan dengan naik kereta api dan sebagian besar menggunakan delman.

Di samping tasuwir (istilah untuk berpidato ketika itu), ia juga membuat beberapa kitab, seperti Al-Azhar al-Wardiyah (mengenai akhlak Nabi) dan Addurar Fi al-Shalawat al-Khair al-Bariyah (buku shalawat Nabi). Dia juga menggunakan kitab kuning karangan Habib Abdullah bin Alwi Alhadad, seorang ulama Hadramaut yang hidup sekitar 300 tahun lalu, yang mengarang Eatib Haddad yang masyhur itu.
Sebagai ulama yang dikenal luas, Habib Ali berdakwah di hampir seluruh tempat di Tanah Air. Dia juga memiliki banyak murid di Singapura dan Malaysia. Di samping itu, ia juga telah berkeliling ke berbagai negara, seperti Pakistan, India, Kolombo, dan Mesir.

Pendidikan Islam modern
Waktu itu, pendidikan agama lebih banyak dilakukan di rumah-rumah yang disebut ‘pengajian’ secara tradisional. Habib Ali merasa tertantang untuk membangun perguruan Islam modern. Maka, pada 1911, berdirilah Unwanul Falah yang letaknya di samping Masjid Kwitang. Pengajarannya dengan sistem modern, yaitu adanya pembagian kelas. Karena itulah, banyak orang yang mengakui bahwa Habib Ali adalah guru para ulama Betawi. Puluhan ulama terkenal pernah menjadi murid di Unwanul Falah yang juga terbuka untuk murid-murid wanita.

Sekitar 300 meter dari majelis taklim, terletak Masjid Djami Kwitang (Ar-Riyadh). Pada tahun 1910, masjid ini semula sebuah mushala kecil. Dengan usaha Habib Ali, pada 1918 surau itu mengalami pembaharuan pertama berupa masjid dengan ruang depannya sebagai madrasah. Madrasah ini dinamakan Unwanul Falah. Kemudian, madrasah ini dipisahkan dari masjid menjadi dua buah sekolah untuk pria dan wanita. Tanah tersebut diwakafkan pemiliknya, Al-Kaff.

Pada 1963, saat Habib Ali berusia lanjut, melalui putranya, Habib Muhammad, masjid diperluas untuk ketiga kalinya. Untuk itu, Habib Ali mengundang sejumlah tokoh Islam dan para ulama terkemuka. Ketika masjid diperluas untuk ketiga kalinya ini, ribuan jamaah secara sukarela bekerja bakti melaksanakannya. Pada akhir 1990-an, menantunya, Habib Said Mahdali, pun mempercantik masjid tersebut hingga saat ini.
Tahun 1960-an, ketika masjid Kwitang direnovasi, jumlah masjid tidak sebanyak sekarang. Letaknya pun di kampung-kampung. Sementara itu, gereja-gereja terletak di tepi jalan-jalan raya. Jumlah masjid mulai banyak dan tersebar di segenap tempat setelah terjadinya pemberontakan G30S/PKI. Masyarakat makin yakin untuk melawan pengaruh komunis. 

Masjid pun dianggap sebagai tempat pergerakan umat
Beberapa murid beliau adalah pemimpin Majelis Taklim Asyafiiyah, KH Abdullah Syafei, dan pemimpin Majelis Taklim Tahiriyah, KH Tohir Rohili. Sejumlah ulama Betawi lainnya yang pernah berguru kepadanya dan membuka majelis taklim adalah KH Abdulrazak Makmun dan KH Zayadi. Tidak hanya menganggap mereka sebagai murid-muridnya, Habib Ali juga memperlakukan mereka seperti kerabat sendiri. Dia sering mendatangi mereka di kediamannya. Di majelis taklimnya, mereka selalu diberi kesempatan untuk berpidato. Kemudian, bergabung pula Habib Salim bin Djindan yang terkenal dengan pidato-pidatonya yang berapi-api. alwi shahab

Begitu Besar Cintanya pada Rasulullah
Sambil duduk di kursi dan memakai jubah serta berserban putih–layaknya Pangeran Diponengoro ketika memproklamirkan perlawanan terhadap Belanda–Habib Ali Alhabsyi dengan suara lembut mengajak ribuan jamaah di majelisnya untuk meniru akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketika menceritakan akhlak dan perjuangan Rasulullah SAW, Habib Ali sering menangis karena rasa cintanya pada junjungan umat tersebut. Bila sudah demikian, hadirin pun akan segera bershalawat untuk Rasulullah SAW.

Dalam meneladani akhlakul karimah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, Habib Ali dan penerusnya senantiasa mengajak umat untuk mempererat hubungan silaturahim dan persaudaraan serta menjauhkan diri dari ideologi kebencian, hasut, dengki, ghibah, fitnah, dan namimah.

Seperti juga majelis taklim, maulid di Kwitang termasuk maulid yang tertua di Jakarta dengan membaca kitab Simtud Duror, karangan ulama Hadramaut, Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi. Dia adalah guru dari Habib Ali Kwitang ketika belajar di Arab Selatan itu. Habib Ali telah menyelenggarakan maulid sebanyak 51 kali atas wasiat almarhum gurunya. Diteruskan oleh Habib Muhammad sebanyak 26 kali dan Habib Abdurahman selama 16 tahun.
 Habib Ali Alhabsyi, Ulama, Pejuang, dan Pendidik dari Betawi

Habib Ali yang meninggal dalam usia 99 tahun pada hitungan Masehi atau 103 tahun pada hitungan Hijriyah tidak pernah menyinggung masalah furu’iyah (cabang ilmu fikih). Dia menganggap, agama perlu diamalkan, bukan untuk diperdebatkan, apalagi saling memusuhi sesama kaum Muslim. Banyak yang mengatakan, inilah sebabnya majelis taklim Kwitang bertahan hampir satu abad. Sampai kini, majelis taklim di Kwitang ini telah memasuki generasi ketiga setelah Habib Ali. Disusul oleh putranya Habib Muhammad dan cucunya Habib Abdurahman. Putra Habib Abdurahman, yang juga bernama Habib Ali, tengah dipersiapkan untuk menjadi penerus di majelis taklim ini sebagai generasi keempat. Dia seorang sarjana komputer dan kini telah mendalami ilmu agama di Hadramaut, sebagaimana pernah dilakukan buyutnya, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.

Majelis Taklim Habib Ali dan maulid tiap akhir Kamis bulan Rabiulawal tidak pernah sunyi didatangi pejabat negara. Mulai dari masa Bung Karno, yang menurut Habib Abdurahman telah mengenal baik kakeknya sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1963, rencananya Bung Karno akan datang kembali, tapi karena berbagai faktor, yang mewakilinya pada peringatan maulid kala itu adalah PM Djuanda. Tahun 1965, ketika berlangsung Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA), para tamu dan kepala negara pun diantar menko KASAB Jenderal AH Nasution berkunjung ke majelis taklim Kwitang. Pimpinan Liga Muslimin Sedunia ketika ke Indonesia juga berkunjung ke majelis taklim Kwitang. Demikian pula dengan Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, dan SBY yang sudah mengunjungi majelis ini.

Hindari perbedaan
Ketika tahun 1950-an dan 1960-an, situasi politik tengah memanas, ditambah lagi masih kerasnya perbedaan khilafiyah. Habib Ali dan ulama-ulama Betawi pun memaknainya hanya sebagai sebuah pendapat. Karena itu, Habib Ali tak mau membesar-besarkan perbedaan, apalagi berbeda dalam masalah khilafiyah.
Majelisnya itu terbuka untuk semua golongan. Tidak heran kalau majelisnya kerap didatangi oleh orang-orang Muhammadiyah. Bahkan, KH Abdullah Salim, pimpinan Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, sering datang ke majelisnya. Dan, selalu diberikan kesempatan untuk berpidato oleh Habib Ali.
Ada hal menarik pada pemilu pertama tahun 1955. Ketika itu, NU baru saja memisahkan diri dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Dalam masa kampanye itu, Habib Ali tidak menampakkan diri berpihak pada salah satu partai dan tidak mengemukakan pilihannya secara terbuka meski lebih dekat kepada Partai NU. Sedangkan, murid dan pengikut setianya, KH Abdullah Syafei, yang saat itu masih muda dan gagah justru menjadi aktivis dan tokoh Masyumi. Perbedaan partai ini tidak berdampak sedikit pun terhadap hubungan akrab antara guru dan murid.

Nasab Habib Alibin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang :

AL HABIB ALI bin ABDURRAHMAN bin ABDULLAH bin MUHAMMAD bin HUSEIN bin ABDURRAHMAN bin HUSEIN bin ABDURRAHMAN bin HADI bin BIN AHMAD ALHABSYI bin ALI bin AHMAD bin MUHAMMAD ASSADULLAH bin HASAN AT-TURABI bin ALI bin MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM bin ALI bin MUHAMMAD SHAHIB MIRBATH bin ALI KHALA QASAM bin ALWI bin MUHAMMAD bin ALWI bin UBAIDILLAH bin AHMAD AL-MUHAJIR bin ISA bin MUHAMMAD AN-NAQIB bin ALI AL-URAIDHI bin JA’FAR ASH-SHODIQ bin MUHAMMAD AL-BAQIR bin ALI ZAINAL ABIDIN bin HUSEIN bin ALI BIN ABI THALIB suami FATIMAH AZ-ZAHRA binti RASULULLAH SAW.