Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (BinJindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.
Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepanp, beliau
juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah
kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana
kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan
agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.
Perjanjian Renvile Habib Salim turut serta didalamnya |
Ratapan 10 Muharram – Fatwa Habib Salim
Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah
Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah.
Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana
termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait.
Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab
membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah
fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari
‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:
• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak
Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram
hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa
besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi
orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan
menggerak-gerakkan badannya.
• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan
sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah
melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta
oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah
adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di
mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian,
mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan
kehancuran”.
• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina
Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada
kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan
seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka
semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat
Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.
• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah
‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya:
“Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan
Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah
bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya
dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang
dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka
dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”
Janganlah tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul
pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan
tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada
Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.
Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). |
Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan
habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga
pejuang kemerdekaan.
Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di
Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib
Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah
bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat
pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin
Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar
(Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib
Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib
(Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim,
Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad
Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin
Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin
menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar.
Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai
berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal
sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia
mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka
ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah
berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka
menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat
kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.”
Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin
Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang
mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu
sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim
ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang
kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk
berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap,
baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali
menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang,
disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya
demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran,
tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal
iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.
Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak
mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu
dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka
majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin
berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di
luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data
sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan
Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah
perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam
menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya,
suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih
mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib
Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang
mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari
Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa —
menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam
sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di
belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu,
si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu
banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran
dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun
teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya
kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya
jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang
disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh
rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni
1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok
datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta
Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet.
Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel
yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap
diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis
taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah
peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah,
diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel
bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh
Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim –
dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang
ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi
semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata
Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai
sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah
pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya
orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka,
menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab,
orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat
seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat
orang lain.”
Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim